Jumat, 11 Januari 2019

Dilema 60 Ribu

Dilema  60 Ribu Rupiah
Pendahuluan perjalananku
Matahari begitu menyengat seakan keganasan dari pancarannya menjadi. Tepat di atas kepala yang perlahan bergeser ke barat mentari selalu menemani dalam setiap langkah hidupku. Kapan dan di manapun keceriaan nya selalu hadir dengan warna yang kontras dan kilauannya yang terang benderang seakan mewarnai hidup setiap insan di dunia yang penuh dengan problematika dan dilema yang tidak kunjung usai, dan mungkin hingga dunia ini telah menua dan sang pemilik-Nya menghendaki untuk menghancurkan bumi dan segalanya.
Bergegas aku berjalan menyusuri jalan berlapis tembok diatas tanah yang hitam kemerahan, setelah usai persiapan untuk hal yang menurutku sangat mulia. Meski kala itu matahari yang selalu menemaniku kurang bersahabat seakan kemarahan yang terpancar dari sinarnya yang membakar kulit mulus ku itu. Namun hal itu tidak mengurungkan niatku untuk terus berjalan demi sebuah tugas yang harus aku jalani.
Setibanya di ujung jalan tersebut aku langsung bertandang di sebuah bangunan yang tidak berpenghuni. “Pos ronda” itulah nama sebuah tempat yang aku singgahi karena aku akan menunggu jemputan yang lewat menghampiriku. Setelah beberapa menit mungkin kurang lebih 30 menit tibalah mobil carry putih yang bernomorkan 08 yang sering menjemputku setia aku membutuhkan. “Huuh…. Akhirnya tiba juga mobil jemputanku”. Mobil ini adalah milik kami bersama yang mana setiap penumpangnya ada dari kampung tempatku asal atau orarang sebrang yang kebetulan lewat atau juga para pedagang yang menbawa setumpuk ember isi tahu siap jual dan para ibu ibu yang senag belanja ke pasar. dDi mobil inilah kami berkumpul baik yang akau kenal atau yang tak aku kenal sekalipun. Sementara aku saat itu hanya mendengarkan orang saja yang gaduh dengan cerita kehidupannya juga merasakan kengeria saat mobil ini melesat maju menyusul rekannya yang hanya satu jengkal saja jarak anatara mobil yang aku tumpangi dengan sebelahnya. “Huuuuuuuuuuuh dasar sopir edan bawa mobil kebut kebutan mana jalan kescil lagi, aduh bang rejeki gak bakal kemana pake nyosor segala lagi “, seorang ibu setengah baya berkata dengan nada marah dan ketakutan.memang perjalanan yang melelahkan dan menegangkan setiap menaiki mobil jemputan inikarena supir seoalah tidak ingin kalah dan merasa miliknya jalanan ini.
Sang bapak guru muda
Setelah merasakan ketegangan dengan kecepatan penuh di dalam mobil itu, akhirnya tempat tujuanku terlihat tidak jauh. “kiri bang “ memberhentikan mobil sambil memberikan imbalan untuk  pengganti bahan bakar dan tanda jasanya.turunlah aku dengan perlahan dan melangkah sambil menyoran tas hitam kesayangan ku yang setia menemani kemanapun aku pergi.
Setelah berapa langkah aku berjalan aku disambut oleh anak anak mumngil yang ceria dengan tawa dan suara yang nyaring. “Bapak- bapak” mereka memanggilku sambil memegang tanganku dan di ciumnya untuk menandakan bahwa mereka berbakti dan menghormati orang yang lebih tua dari mereka. Dan mungkin itu juga adalah sebuah budaya yang selalu turun temurun atau hokum alam yang tak tau kapan dan dimana asalnya. Tapi itu adalah sebuah penghormatan dari mereka dank au juga harus dan mesti menghargai dan menghormati mereka.Mereka dalah anak anak yang sangat pintar dan akan menjadi penerus aku mungkin dimasa mendatang dan akan mengubah dunia dengan tangan mereka sendiri dan mungkin akan menjadi lebih baik lagi dari massa yang sekarang. Perasaan itu muncul bersamaan dengan senyuman dan teriakan yang membisisngkan telinga seorang bapak muda yang tidak pernah menyangka sebelumnya akan di panggil bapak. Dan sebenarnya panggilan dan tugasku itu terlalu barat sekali apalagi panggilannya yang membuat rancu di telingaku , karena aku kurang suka dengan sebutan itu entah mengapa sebabnya tapi ya……. Mau gimana lagi itu sudah menjadi ketentuan dan aturan di dalam masyarakat sebutan tersebut harus di ucapkan dari mulut anak didiku yang sangat manja.
Setelah beberapa saat dari kedatanganku dating pula seorang wanita tinggi semampai dengan hiasan jilbab yang mempercantiknya. Dan saya pun member salam kepadanya karena memang dia lebih tau dari aku mungkin sekitar 8 tahun dari umurku. Selanjutnya seperti biasa kami dan anak didik kami mebacakan ayat ayat yang menjadi permulaan proses belajar mengajar. Denga suara yang gaduh mereka membacakan doa doa agar apa yang mereka cari atauilmu ynag mereka cari bias bermanfaat di kemudian hari, jaga mereka mendoakan agar di beri keselamatan baik untuk mereka sendiri atau pun kedua orang tuanya. Pada saat bersamaan pun sebagian dari mereka tidak mengikuti bacaan bacaan tersebut malah membuat keributan denga membuat menangis teman di dekatnya. Aku pun menghampiri orang yang berbuat nakal sementara ibu saadah menghampiri anak yang menangis dan bermaksud untuk menenangkannya supaya tidak menangis lagi, dan aku memisahkan anak tersebut karena anak tersebut terus saja menyerang anak perempuan. “ kenapa kamu nakal nak , dia kan perempuan sementara kamu laki laki jadi kamu tidak boleh nakal apalagi pada perempuan kamu mengerti nak “ aku berkata sambil mengusap kepala sambil duduk dan memeganginya takut dia menyerang kembali.
“Aku tidak mau sebangku sama dia dia nakal, aku pinjam pulpen saja tidak di beri pak guru” , jawab anak tersebut dengan manja.
“Ohhhhhhhh tapi kamu tidak boleh ye, sekarang kamu baikan sama dia ya”, jawab ku sambil menasihati dia.
Tiabalah saatnya kami para guru memberi pelajaran kepada muri murinya. Akan tetapi sebelumnya kami membagi kelas dulu karena ada yang sudah Sd dan yang belum masuk sekolah sama sekali mungkin umur mereka sekitar 3-5 tahun. Dan untuk anak anak di bawah SD adalah bagianku mentransfer ilmu.
Sebenarnya masalah agama aku tidak cukup pintar Karena aku sering melewatkan pelajaran pelajarn tersebut sewaktu aku duduk  di MTs maupun di Aliyah. Dan aku kurang memperhatikan nya tapi itu sangat penting sekali karena pelajarantersebut di praktekan langsung dalam kehidupan aku baik secara pribadi maupun secara bermasyarakat. Aku sangat menyesal sekali . perasaan itu muncul ketika aku member pelajaran tentang keEsaan Tuhan dalam pelajaran akidah ahkak. Sementara apa yang aku ajarkan itu adalah dasar  untuk mempelajari bacaan al quran.
Pada saat mengajar anak anak tersebut sangat tidak mudah, karena kita harus mempunyai ilmu komunikasi dan mesti tahu bagai mana menangani kenakalan anak anak tersebut. Benar saja saat aku menerangkan dengan kelebayan aku terhadap anak anak tersebut daan dengan senyuman yang selalu melebarkan bibirku pada anak anak tersebut masih saja ada beberapa anak yang hilir mudik kesana kemari tidak memperhatikan ku, sungguh membuat geram diriku akan tetapi mereka adalh seorang anak kecik yang belum tahu apa apa yang mereka tahu adalah bermain, dan melekukan apasaja yang membuat mereka senag tidak tahu salah atau benar membahayakan atau tidak. Tpi dengan sabar dan penuh senyuman aku menghampiri mereka yang bermain main saat pelajaran . sungguh ini adalah cobaan yang sangat berat yang mana aku harus menghadapi anak anak yang penuh imajinasi yang bertindak tanpa dipikirkan. Juga sangat aktif yang membuat kewalahan  sekali. Akhirnya pelajaran pun tidak bias aku kasih Karena waktunya tersita oleh mereka yang bermain main.
 Setelah memberikan pelajaran yang tidak kunjung selesai dari beberapa hari yang lalu, kini bagian membaca  iqro. Suasananya pun seperti biasa ,mereka bebas melakukan apasaja sesuka mereka.ada yang  membuat gaduh ruangan, teriak teriak tidak karuan, ada yang membaca iqra, atau diam seribu bahasa tanpa keluar satu kata pun dari mulut mungilnya yang merah merekah atau juga tangisan dari anak yang ditinggal ibunya juga ingin jajan. Keadaan ini terus berlangsung tanpa ada yang mau merelainya, yam au gimana lagi itulah tingkah mereka. Aku hanya bias melihat karena aku juga pernah dan melakukan hal yang sama saat aku masih kecil dulu.
Akhirnya suasanay ini akan berakhir juga.  tibalah saat penghujung , mereka para murid disatukan seperti semula kembali. Doa doa dipanjatkan kembali. Sesudah itu sunyi lah ruangan yang tadi semraut dan gaduh tersebut. Sebelum mereka pulang tidak lupa mereka member salam dan seperti biasa mencium tangan para guru guru suatu bentuk penghormatan.
Sebelum aku meninggalkan tempat ini kami berkumpul. Dan aku tidak mengerti karena aku baru sebulan dan hari ini adalah tenggal 3. Sempat aku bertanya Tanya dalam hatikun
“aduh ada apa yeeeeee……….” , aku berbicara dalam hati dengan sedikit cemas.dari pembicaraan tersebut mengejutkan sekali, karena yang di bahas adalah hasil pendapatan bulah kemari yang akan di bagikan pada kami semua.
“ laporan hasil pendapatan bulan kemarin sekitar 320.000, kan di bagikan pada guru guru dan sisanya akan di pake buat uang kas jika nanti ada pengeluaran yang tak terduga atau kebutuhan lain” tugas guru pengelola keuangan.
“Bapak deni mungkin hanya seginni kami bisa menggaji bapak besar kecilnya mudah mudahan bermanfaat ye, ini bukan lah gaji melainkan uang buat jajan, karena kami tidak bisa menggaji sebagai mana selayaknya jadi mohon ini diterima”, kembali berkata sambil memberikan uang dan amplop berwarna putihnya padaku.
“Oh makasih bu, saya juga mengerti kok bu dengan keadaan ini.”membalas perkataan ibu sambil tertunduk kepala.
“Ya udah kalau mau pulang silahkan dan hati hati di jalan ya……”. Kembali ibu itu berkata sambil mendoakanku.
“ oh iya bu makasih banyak ya”, sambil memasukan uang yang aku terima ke dalam amlop.
Rasa senang yang pada akhirnya mendapat gaji juga walaupun tidak banyak atau tidak memenuhi standar untuk hidup, akan tetapi rasa bangga menghampiri hati ini karena kerja keras atas jasa yang telah aku berikan .dan dengan senyum yang lebar yang merekah di bibir ini dan menyimpan baik baik uang yang telah aku terima itu ke dalam tasku dengan tanpa melepaskan peganganku pada tas tersebut takut terjadi hal yang diinginkan aku menyebrang jalan besar. Hingga akhirnya aku menyusuri jalan yang berliku dan bertitik di sebuah jalan menuju pulang, kemudian aku menyebrang kembali sambil menunggu mobil jemputanku itu.setelah beberapa menit tibalah mobil yang aku tunggu, sembari memegang tas yang aku sayangi dan uang yang sangat berharga lebih dari nyawaku karena separuh hidup aku gantungkan pada jasa ini aku melangkah dan duduk diam di kursih yang sudah disediakan untukku.
Dilema ini
Hari yang akan cerah menyambut pagi yang indah namun mega masih diselimuti awan hitam yang mulaimemudar oleh cahaya matahari yang mulai tiba di sebelah timur.  Namun ada sesuatu yang bising terdengar dalam telingaku ini, ibu yang aku sayangi dan galak memanggilku. “deni bangun ….”, sambil mengeraskan suara seakan menggemakan ruangan di rumah yang mungil ini. Akhirnya aku terbangun dengan agak sedikit mata yang masih kelihatan merapat .
“Ya bu ada apa………..”, aku menjawab.
“Tolong antarkan uang arisan ini ke bu wiwi,tapi duitnya kurang boleh minjam tidak”, ibu memberi perintah.
“Berapa kurangnya bu”, aku menjawab.
“25.000 ribu lagi”, jawabnya.
“Haaaaaah 25000, ohhh ya udah  tar aku lihat ada tidak uangnya ya bu”,kaget sambil berpikir.
Setelah itu aku pergi ke kamar dan membuka tasku dan mengambil amplop putih berisi uang yang hanya 60.000 ribu saja.sambil berpikir kalau aku kasih 25.000 sisanya 35.000 ribusementara kebutuhan ku jau sekali dari jumlah itu. Rencananya aku mau beli bahan bahan sabun , karena aku akan mengumpulkan dan pada saatnya nanti aku akan berbisnnis sabun, terus sisanya aku pakai untuk uang ongkos. Selama ini ongkos aku sebagian minta dari orang tuaku, karena aku tidak punya duit buat ongkos.
Disisi lain aku harus membagi uang itu untuk ibu aku sendiri. Memang ini adalah sebuah pilihan yang sulit bagiku yang mana dengan gaji yang jauh dari cukup aku harus membagi dengan hal hal yang memang pentin. Aku adalah anak pertama oleh sebab itu beban kebutuhan keluarga yang kedua ada pada pundakku. Itu sebabnya ibuku minta bantuan walaupun tidak secara langsung yakni dengan cara meminjam, namun aku tau maksunya beliau adalah meminta.
Selama ini aku pergi mengajar hanya sewaktu aku punya onkos sajadan itu juga aku harus minta dari ibuku. Sementara ongkos yang aku perlukan pulang pergi sekitar 3 ribu jika di kalikan sebulan 30 hari maka ongkos yang aku perlukan sekitar 90 ribu. Namun gaji yang aku terima hanya 60 ribu dan aku harus membaginya dengan ibuku. Sungguh ini masalah yang sulit di pecahkan. Sambil berpikir dan memegang amplop putih aku melamun untuk memutuskannya.
Pada akhirnya aku harus mengalah dengan keadaan ini. Aku memberikan uang 25 ribu rupiah dan aku harus mengubur untuk pergi mengajar untuk satu minngu lebih juga menahan ambisiku menjadi pebisnis deterjen.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar