Dilema 60 Ribu Rupiah
Pendahuluan perjalananku
Matahari
begitu menyengat seakan keganasan dari pancarannya menjadi. Tepat di
atas kepala yang perlahan bergeser ke barat mentari selalu menemani
dalam setiap langkah hidupku. Kapan dan di manapun keceriaan nya selalu
hadir dengan warna yang kontras dan kilauannya yang terang benderang
seakan mewarnai hidup setiap insan di dunia yang penuh dengan
problematika dan dilema yang tidak kunjung usai, dan mungkin hingga
dunia ini telah menua dan sang pemilik-Nya menghendaki untuk
menghancurkan bumi dan segalanya.
Bergegas aku berjalan menyusuri
jalan berlapis tembok diatas tanah yang hitam kemerahan, setelah usai
persiapan untuk hal yang menurutku sangat mulia. Meski kala itu matahari
yang selalu menemaniku kurang bersahabat seakan kemarahan yang
terpancar dari sinarnya yang membakar kulit mulus ku itu. Namun hal itu
tidak mengurungkan niatku untuk terus berjalan demi sebuah tugas yang
harus aku jalani.
Setibanya di ujung jalan tersebut aku langsung bertandang di sebuah bangunan yang tidak berpenghuni. “Pos ronda” itulah nama
sebuah tempat yang aku singgahi karena aku akan menunggu jemputan yang
lewat menghampiriku. Setelah beberapa menit mungkin kurang lebih 30
menit tibalah mobil carry putih yang bernomorkan 08 yang sering
menjemputku setia aku membutuhkan. “Huuh…. Akhirnya tiba juga mobil
jemputanku”. Mobil ini adalah milik kami bersama yang mana setiap
penumpangnya ada dari kampung tempatku asal atau orarang sebrang yang
kebetulan lewat atau juga para pedagang yang menbawa setumpuk ember isi
tahu siap jual dan para ibu ibu yang senag belanja ke pasar. dDi mobil
inilah kami berkumpul baik yang akau kenal atau yang tak aku kenal
sekalipun. Sementara aku saat itu hanya mendengarkan orang saja yang
gaduh dengan cerita kehidupannya juga merasakan kengeria saat mobil ini
melesat maju menyusul rekannya yang hanya satu jengkal saja jarak
anatara mobil yang aku tumpangi dengan sebelahnya. “Huuuuuuuuuuuh dasar
sopir edan bawa mobil kebut kebutan mana jalan kescil lagi, aduh bang
rejeki gak bakal kemana pake nyosor segala lagi “, seorang ibu setengah
baya berkata dengan nada marah dan ketakutan.memang perjalanan yang
melelahkan dan menegangkan setiap menaiki mobil jemputan inikarena supir
seoalah tidak ingin kalah dan merasa miliknya jalanan ini.
Sang bapak guru muda
Setelah
merasakan ketegangan dengan kecepatan penuh di dalam mobil itu,
akhirnya tempat tujuanku terlihat tidak jauh. “kiri bang “
memberhentikan mobil sambil memberikan imbalan untuk pengganti bahan
bakar dan tanda jasanya.turunlah aku dengan perlahan dan melangkah
sambil menyoran tas hitam kesayangan ku yang setia menemani kemanapun
aku pergi.
Setelah berapa langkah aku berjalan aku disambut oleh
anak anak mumngil yang ceria dengan tawa dan suara yang nyaring. “Bapak-
bapak” mereka memanggilku sambil memegang tanganku dan di ciumnya untuk
menandakan bahwa mereka berbakti dan menghormati orang yang lebih tua
dari mereka. Dan mungkin itu juga adalah sebuah budaya yang selalu turun
temurun atau hokum alam yang tak tau kapan dan dimana asalnya. Tapi itu
adalah sebuah penghormatan dari mereka dank au juga harus dan mesti
menghargai dan menghormati mereka.Mereka dalah anak anak yang sangat
pintar dan akan menjadi penerus aku mungkin dimasa mendatang dan akan
mengubah dunia dengan tangan mereka sendiri dan mungkin akan menjadi
lebih baik lagi dari massa yang sekarang. Perasaan itu muncul bersamaan
dengan senyuman dan teriakan yang membisisngkan telinga seorang bapak
muda yang tidak pernah menyangka sebelumnya akan di panggil bapak. Dan
sebenarnya panggilan dan tugasku itu terlalu barat sekali apalagi
panggilannya yang membuat rancu di telingaku , karena aku kurang suka
dengan sebutan itu entah mengapa sebabnya tapi ya……. Mau gimana lagi itu
sudah menjadi ketentuan dan aturan di dalam masyarakat sebutan tersebut
harus di ucapkan dari mulut anak didiku yang sangat manja.
Setelah
beberapa saat dari kedatanganku dating pula seorang wanita tinggi
semampai dengan hiasan jilbab yang mempercantiknya. Dan saya pun member
salam kepadanya karena memang dia lebih tau dari aku mungkin sekitar 8
tahun dari umurku. Selanjutnya seperti biasa kami dan anak didik kami
mebacakan ayat ayat yang menjadi permulaan proses belajar mengajar.
Denga suara yang gaduh mereka membacakan doa doa agar apa yang mereka
cari atauilmu ynag mereka cari bias bermanfaat di kemudian hari, jaga
mereka mendoakan agar di beri keselamatan baik untuk mereka sendiri atau
pun kedua orang tuanya. Pada saat bersamaan pun sebagian dari mereka
tidak mengikuti bacaan bacaan tersebut malah membuat keributan denga
membuat menangis teman di dekatnya. Aku pun menghampiri orang yang
berbuat nakal sementara ibu saadah menghampiri anak yang menangis dan
bermaksud untuk menenangkannya supaya tidak menangis lagi, dan aku
memisahkan anak tersebut karena anak tersebut terus saja menyerang anak
perempuan. “ kenapa kamu nakal nak , dia kan perempuan sementara kamu
laki laki jadi kamu tidak boleh nakal apalagi pada perempuan kamu
mengerti nak “ aku berkata sambil mengusap kepala sambil duduk dan
memeganginya takut dia menyerang kembali.
“Aku tidak mau sebangku sama dia dia nakal, aku pinjam pulpen saja tidak di beri pak guru” , jawab anak tersebut dengan manja.
“Ohhhhhhhh tapi kamu tidak boleh ye, sekarang kamu baikan sama dia ya”, jawab ku sambil menasihati dia.
Tiabalah
saatnya kami para guru memberi pelajaran kepada muri murinya. Akan
tetapi sebelumnya kami membagi kelas dulu karena ada yang sudah Sd dan
yang belum masuk sekolah sama sekali mungkin umur mereka sekitar 3-5
tahun. Dan untuk anak anak di bawah SD adalah bagianku mentransfer ilmu.
Sebenarnya
masalah agama aku tidak cukup pintar Karena aku sering melewatkan
pelajaran pelajarn tersebut sewaktu aku duduk di MTs maupun di Aliyah.
Dan aku kurang memperhatikan nya tapi itu sangat penting sekali karena
pelajarantersebut di praktekan langsung dalam kehidupan aku baik secara
pribadi maupun secara bermasyarakat. Aku sangat menyesal sekali .
perasaan itu muncul ketika aku member pelajaran tentang keEsaan Tuhan
dalam pelajaran akidah ahkak. Sementara apa yang aku ajarkan itu adalah
dasar untuk mempelajari bacaan al quran.
Pada saat mengajar anak
anak tersebut sangat tidak mudah, karena kita harus mempunyai ilmu
komunikasi dan mesti tahu bagai mana menangani kenakalan anak anak
tersebut. Benar saja saat aku menerangkan dengan kelebayan aku terhadap
anak anak tersebut daan dengan senyuman yang selalu melebarkan bibirku
pada anak anak tersebut masih saja ada beberapa anak yang hilir mudik
kesana kemari tidak memperhatikan ku, sungguh membuat geram diriku akan
tetapi mereka adalh seorang anak kecik yang belum tahu apa apa yang
mereka tahu adalah bermain, dan melekukan apasaja yang membuat mereka
senag tidak tahu salah atau benar membahayakan atau tidak. Tpi dengan
sabar dan penuh senyuman aku menghampiri mereka yang bermain main saat
pelajaran . sungguh ini adalah cobaan yang sangat berat yang mana aku
harus menghadapi anak anak yang penuh imajinasi yang bertindak tanpa
dipikirkan. Juga sangat aktif yang membuat kewalahan sekali. Akhirnya
pelajaran pun tidak bias aku kasih Karena waktunya tersita oleh mereka
yang bermain main.
Setelah memberikan pelajaran yang tidak
kunjung selesai dari beberapa hari yang lalu, kini bagian membaca iqro.
Suasananya pun seperti biasa ,mereka bebas melakukan apasaja sesuka
mereka.ada yang membuat gaduh ruangan, teriak teriak tidak karuan, ada
yang membaca iqra, atau diam seribu bahasa tanpa keluar satu kata pun
dari mulut mungilnya yang merah merekah atau juga tangisan dari anak
yang ditinggal ibunya juga ingin jajan. Keadaan ini terus berlangsung
tanpa ada yang mau merelainya, yam au gimana lagi itulah tingkah mereka.
Aku hanya bias melihat karena aku juga pernah dan melakukan hal yang
sama saat aku masih kecil dulu.
Akhirnya suasanay ini akan
berakhir juga. tibalah saat penghujung , mereka para murid disatukan
seperti semula kembali. Doa doa dipanjatkan kembali. Sesudah itu sunyi
lah ruangan yang tadi semraut dan gaduh tersebut. Sebelum mereka pulang
tidak lupa mereka member salam dan seperti biasa mencium tangan para
guru guru suatu bentuk penghormatan.
Sebelum aku meninggalkan
tempat ini kami berkumpul. Dan aku tidak mengerti karena aku baru
sebulan dan hari ini adalah tenggal 3. Sempat aku bertanya Tanya dalam
hatikun
“aduh ada apa yeeeeee……….” , aku berbicara dalam hati
dengan sedikit cemas.dari pembicaraan tersebut mengejutkan sekali,
karena yang di bahas adalah hasil pendapatan bulah kemari yang akan di
bagikan pada kami semua.
“ laporan hasil pendapatan bulan kemarin
sekitar 320.000, kan di bagikan pada guru guru dan sisanya akan di pake
buat uang kas jika nanti ada pengeluaran yang tak terduga atau kebutuhan
lain” tugas guru pengelola keuangan.
“Bapak deni mungkin hanya
seginni kami bisa menggaji bapak besar kecilnya mudah mudahan bermanfaat
ye, ini bukan lah gaji melainkan uang buat jajan, karena kami tidak
bisa menggaji sebagai mana selayaknya jadi mohon ini diterima”, kembali
berkata sambil memberikan uang dan amplop berwarna putihnya padaku.
“Oh makasih bu, saya juga mengerti kok bu dengan keadaan ini.”membalas perkataan ibu sambil tertunduk kepala.
“Ya udah kalau mau pulang silahkan dan hati hati di jalan ya……”. Kembali ibu itu berkata sambil mendoakanku.
“ oh iya bu makasih banyak ya”, sambil memasukan uang yang aku terima ke dalam amlop.
Rasa
senang yang pada akhirnya mendapat gaji juga walaupun tidak banyak atau
tidak memenuhi standar untuk hidup, akan tetapi rasa bangga menghampiri
hati ini karena kerja keras atas jasa yang telah aku berikan .dan
dengan senyum yang lebar yang merekah di bibir ini dan menyimpan baik
baik uang yang telah aku terima itu ke dalam tasku dengan tanpa
melepaskan peganganku pada tas tersebut takut terjadi hal yang
diinginkan aku menyebrang jalan besar. Hingga akhirnya aku menyusuri
jalan yang berliku dan bertitik di sebuah jalan menuju pulang, kemudian
aku menyebrang kembali sambil menunggu mobil jemputanku itu.setelah
beberapa menit tibalah mobil yang aku tunggu, sembari memegang tas yang
aku sayangi dan uang yang sangat berharga lebih dari nyawaku karena
separuh hidup aku gantungkan pada jasa ini aku melangkah dan duduk diam
di kursih yang sudah disediakan untukku.
Dilema ini
Hari
yang akan cerah menyambut pagi yang indah namun mega masih diselimuti
awan hitam yang mulaimemudar oleh cahaya matahari yang mulai tiba di
sebelah timur. Namun ada sesuatu yang bising terdengar dalam telingaku
ini, ibu yang aku sayangi dan galak memanggilku. “deni bangun ….”,
sambil mengeraskan suara seakan menggemakan ruangan di rumah yang mungil
ini. Akhirnya aku terbangun dengan agak sedikit mata yang masih
kelihatan merapat .
“Ya bu ada apa………..”, aku menjawab.
“Tolong antarkan uang arisan ini ke bu wiwi,tapi duitnya kurang boleh minjam tidak”, ibu memberi perintah.
“Berapa kurangnya bu”, aku menjawab.
“25.000 ribu lagi”, jawabnya.
“Haaaaaah 25000, ohhh ya udah tar aku lihat ada tidak uangnya ya bu”,kaget sambil berpikir.
Setelah
itu aku pergi ke kamar dan membuka tasku dan mengambil amplop putih
berisi uang yang hanya 60.000 ribu saja.sambil berpikir kalau aku kasih
25.000 sisanya 35.000 ribusementara kebutuhan ku jau sekali dari jumlah
itu. Rencananya aku mau beli bahan bahan sabun , karena aku akan
mengumpulkan dan pada saatnya nanti aku akan berbisnnis sabun, terus
sisanya aku pakai untuk uang ongkos. Selama ini ongkos aku sebagian
minta dari orang tuaku, karena aku tidak punya duit buat ongkos.
Disisi
lain aku harus membagi uang itu untuk ibu aku sendiri. Memang ini
adalah sebuah pilihan yang sulit bagiku yang mana dengan gaji yang jauh
dari cukup aku harus membagi dengan hal hal yang memang pentin. Aku
adalah anak pertama oleh sebab itu beban kebutuhan keluarga yang kedua
ada pada pundakku. Itu sebabnya ibuku minta bantuan walaupun tidak
secara langsung yakni dengan cara meminjam, namun aku tau maksunya
beliau adalah meminta.
Selama ini aku pergi mengajar hanya sewaktu
aku punya onkos sajadan itu juga aku harus minta dari ibuku. Sementara
ongkos yang aku perlukan pulang pergi sekitar 3 ribu jika di kalikan
sebulan 30 hari maka ongkos yang aku perlukan sekitar 90 ribu. Namun
gaji yang aku terima hanya 60 ribu dan aku harus membaginya dengan
ibuku. Sungguh ini masalah yang sulit di pecahkan. Sambil berpikir dan
memegang amplop putih aku melamun untuk memutuskannya.
Pada
akhirnya aku harus mengalah dengan keadaan ini. Aku memberikan uang 25
ribu rupiah dan aku harus mengubur untuk pergi mengajar untuk satu
minngu lebih juga menahan ambisiku menjadi pebisnis deterjen.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar