Kamis, 18 Maret 2021

Menyoalkan Tentang Banjir Yang Dianggap Selalu Jahat

Banjir yang terjadi akhir-akhir ini memang membuat pusing kepala, baik untuk para korban, pemerintah ataupun di headline news di media cetak, online ataupun berita langsung. Masalah banjir yang terjadi tentu ada sebab-musabab. Seperti dalam peribahasa, “tak ada semut kalau tak ada gula.” “Semut”-nya bukan hanya kerugian materi, tapi bisa sampai berujung hilangnya nyawa. Sungguh melelahkan, bukan?

Banjir yang terjadi pada musim hujan disebabkan bukan hanya karena curah hujan yang tinggi, namun bisa juga disebabkan karena faktor “x”, seperti banjir kiriman yang kerap datang tiba-tiba. Hal ini menyebabkan masyarakat waspada, sehingga pewartaan cuaca (hujan lebat, sedang, gerimis, atau mendung saja) menjadi perhatian khusus masyarakat agar selalu siaga menghadapi kemungkinan datangnya banjir. Baik banjir yang sanggup menenggelamkan seisi rumah, atau bahkan “hanya” genangan setinggi 30 cm?

         Ada ”banjir”, ada “genangan”, lalu apa beda antara keduanya? Bukankah sama-sama air? Agar tidak terjebak dengan kedua istilah yang serupa tapi tak sama dan sering menjadi bahan rundungan netizen –iya, nih, soalnya ada yang pernah nyama-nyamain banjir dengan genangan! – kita harus tahu dulu apa perbedaan “banjir” dan “genangan”, agar tidak blunder saat berkomentar di media sosial (ciye, penting banget, sih, komen di sosmed). 

        Merujuk pada KBBI online,bahwa banjir dapat diartikan “berair banyak dan deras, kadang-kadang meluap (tentang kali dan sebagainya)”. Banjir juga didefinisikan “tergenangnya suatu tempat akibat meluapnya air yang melebihi kapasitas pembuangan air di suatu wilayah dan menimbulkan kerugian fisik, sosial dan ekonomi” (Rahayu dkk.;2009)

    Apa yang menyebabkan terjadinya banjir? Banjir dapat terjadi akibat turunnya hujan dengan frekuensi yang cukup tinggi atau curah hujan yang deras dan turun selama berhari-hari. Selain hujan, terjadinya banjir bisa disebabkan beberpa faktor seperti: erosi tanah yang menyisakan bebatuan sehingga air hujan terperangkap di permukaan tanah lalu tidak terserap ke dalam tanah, buruknya penanganan sampah yang menyumbat aliran sungai, pembangunan permukiman, jalanan, rusaknya bendungan dan saluran air, sehingga daya serap tanah berkurang.

        Oke, sekarang kita tahu apa saja yang menyebabkan terjadinya banjir. Lalu, apa saja dampak dari terjadinya banjir? Banyak! Mulai dari kerugian material berupa rusak maupun hilangnya benda dan perabot yang digunakan sehari-hari –bahkan rusaknya kendaraan–, macetnya roda ekonomi, rusaknya lahan pertanian yang menyebabkan gagal panen dan berkurangnya penghasilan, dan dari segi lingkungan, banjir dapat menyebabkan terganggunya ekosistem, Serta yang tak kalah merugikannya, rusak atau hilangnya dokumen-dokumen penting dan surat berharga, baik milik perorangan maupun pemerintah maupun sarana dan prasarana publik yang rusak, menjadi beberapa hal yang muncul akibat banjir.

Meski begitu, banjir tidak melulu mendatangkan kerugian. Bak dua sisi mata uang yang tak dapat dipisahkan, ada juga sisi negatif akibat banjir, antara lain: 

1. Membangun Kesadaran Akan Pentingnya Manajemen Sampah.

Tak dapat dipungkiri, masalah terbesar terjadinya banjir adalah sampah. Dengan rutinnya banjir yang menyapa warga, diharapkan muncul kesadaran bahwa sampah harus ditangani dengan baik dan benar. Bukan hanya “cara membuang sampah” dengan baik dan benar, namun juga memanfaatkan sampah sehingga memiliki manfaat (dan nilai ekonomis) serta mulai mengurangi sampah. Selain meminimalisir risiko banjir, dengan penataan sampah yang baik tentu lingkungan akan menjadi semakin bersih dan sehat sehingga kawasan tempat tinggal menjadi lingkungan yang nyaman.

 

2. Tata Kota Lebih Baik

Selain menjadikan lingkungan terjaga dari banjir, bersih dan nyaman, dengan manajemen sampah yang baik maka akan tercipta tata kota yang baik pula, sehingga sesuai amdal dan SOP lingkungan karena ini sangat penting sekali.

3. Rajin Bersih-Bersih

Kebiasaan baik kadang harus dipaksakan. Dengan adanya banjir, masyarakat “terpaksa” membersihkan sisa-sisa lumpur maupun membersihkan barang-barang yang kotor akibat banjir. Awalnya terpaksa, kemudian biasa, lama-kelamaan jadi budaya. Budaya bersih-bersih? Keren, kan!?

Kira-kira begitulah sebab-musabab banjir, dampak negatif dari banjir serta sisi positifnya. Namun apa yang saya bicarakan di atas hanya menjadi wacana belaka kalau kita tidak sama-sama menjalankannya. Ingat, meski hanya karena perbuatan satu-dua orang, banjir berdampak terhadap banyak orang, bahkan dapat dirasakan dalam satu wilayah tertentu yang jangkauannya cukup luas. Mari ubah mindset dan menjadikan banjir sebagai ibroh agar kita semua senantiasa menjaga lingkungan. Jangan jadikan banjir langganan, cukup jadikan kenangan.


Jumat, 10 Juli 2020

Mengoptimalkan Segmentasi Pasar Produk Pertanian Organik, Untuk Masa depan pertanian Indonesia

   Pertanian organik telah menjadi perhatian besar dewasa ini baik dinegara berkembang maupun negara maju. Hal tersebut di latarbelakangi oleh adanya perubahan gaya hidup masyarakat yang mementingkan kesehatan. Perubahan pola hidup masyarakat yang ementigkan kualitas kesehatan, baik kesehatan manusia maupun kesehatan lingkungan  ( Hubeis, 2013 ). Alasan itulah yang kini menjadi sebuah peluang besar yang tentunya tidak boleh disia -siakan. 

   Menurut data BPS tahun 2000 Indonesia memiliki potensi lahan pertanian organik sekitar 75 juta ha lahan dan baru dimanfaatkan sekitar 25 juta ha saja serta ada banyak potensi bahan baku untuk pupuk organik yang bersumber dari limbah pertanian, limbah industri, libah peterakan, sampah kota dan sampah rumah tangga. Data Organic Trade Assosiation ( OTA ), penjualan produk organik pada tahun 2018 mencapai 47,9 juta dolas AS. Angka itu diprediksi akan terus meningkat hingga 60 juta dolas AS pada tahun 2020. Sayang potensi tersebut masih belum dimanfaatkan secara optimal apalagi perdagangan produk-produk organik Indonesia masih sangat rendah.

Peluang pasar produk pertanian organik Indonesia

   Terciptanya sebuah peluang dari segmentasi pasar produk organik ini, karena adanya perubahan gaya hidup yang lebih sehat serta campign back to nature di kota-kota besar. Hal itu dapat mempengaruhi pola prilaku konsumen dalam menentukan konsumsi produk organik. Selain dua faktor tadi yang mempengaruhinya, menurut saya pangan fungsional juga turut mempengaruhi pola konsumen terhadap produk organik, karena rupanya banyak keunggulan untuk kesehatan yang diberikan ketika mengkonsusmsi produk pertanian organik dalam hal ini bisa sayuran atau buah buahan. 

   Balik pada campign back to nature ada dua keunggulan yang akan diperoleh yakni kesehatan dan lingkungan. Adanya sebuah kesadaran masyarakat untuk turut serta menjaga kesehatan dan menjaga lingkungan pengguna pupuk kimia, pestisida kimia dan hormon pertumbuhan dalam pertanian dapat menimbulkan pengaruh negatif terhadap kesehatan manusia dan ligkugan ( Bernardes et al ,2015). Bahaya pengguna kimia bagi kesehatan manusia menjadikan masyarakat semakin menjaga pola konsumsi dengan mengkonsumsi pangan yang alami tanpa mengandung bahan kimia yang berbahaya bagi kesehatan dan lingkungan.

   Bahan pangan alami tanpa mengandung bahan kimia berbahaya dapat diperoleh melalui praktik pertanian organik. pertanian organik merupakan kegiatan pertanian yang menjaga kelestarian lingkungan, tanah, tanaman, hewan dan manusia sebab semua termasuk dalam satu komponen yang saling berhungungan ( Mayrowani, 2012 ).

Optimalkan asar pertanian organik 

   Dalam rangka mengoptimalkan pasar produk pertanian organik ini ada beberapa yang harus di perhatikan, agar apa yang telah diusahakan memang memiliki dampak positif khususnya terhadap produk pertanian organik. Berikut hal-hal yang perlu diperhatikan dalam mengoptimalkan pasar produk pertanian organik;

1. Jenis produk yang ditawarkan 
    Jenis produk yang ditawarkan adalah produk yang memang sering dikonsumsi, tentunya setiap produsen harus terlebih dahulu meriset produk mana yang sangat berpotensi memberi peluang pasar produk organik.
2. Harga 
   Harga jelas sangat menentukan pihak konsumen dalam menentukan pilihan dikala membeli sebuah produk. Meski produk organik masih terbilang langka dan termasuk kategori mewah, namun jika harga yang ditawarkan memiliki kompetitif harga pasar maka produk produk organik ini akan sangat diminati, apalagi dengan alasan kesehatan dan kelestarian lingkungan.
3. Distribusi /keterjangkauan
    Distribusi atau keterjangkauan produk organik memang haruslah diperhatikan. Sejauh ini produk organik hanya di pasarkan melalui mall-mall saja atau dijual secara online. Dengan keterjangkauan dan kemudahan distribusi sudah pasti banyak yang akan membeli apalagi untuk kota -kota besar seperti Jakarta atau Surabaya yang memang memerlukan pendistribusian yang bagus dan lancar.
4. Promosi
   Promosi juga tidak kalah pentingnya, selain memperkenalkan produk yang kita miliki kepada khalayak, ada kalanya promosi ini harus sesering dilakukan agar produk organik ini semakin iketahui dan banyak diminati. kunci dari dari sebuah keberhasilan produk dagangan di pasaran adalah dengan strategi promosi yang baik serta tepat pada sasarannya.

Mencuri pasar dari turis vegetarian 

   Trend  vegetarian juga bisa menjadi salah satu yang bisa memberikan sumbangsih terhadap pasar produk peranian organik. Komunitas vegetraian di dunia berjumlah 700 juta  orang dan mayoritas berada di India dengan jumlah 350 juta  orang di ikuti China dengan 50 juta orang. kedua negara tersebut merupakan lima pasar utama wisatawan mancanegara ke Indonesia. China menyubang 2,2 juta wisatawan dan India menyumbang 485.000 wisatawan.

   Ini potensi yang luar biasa bagi Indonesia untuk mengembangkan industri kuliner dan sebagai pasar potensial produk pertanian organik Indonesia. Sebanyak 70 persen dri wisatawan India datang ke Indonesia sebagian besar adalah vegan. Hal inilah yang memang perlu diperhatikan dan di lihat dari sisi peluang pasarnya. Bahkan menurut data dari Oliver's Travel yang diterbitkan dalam The Global Index, Indonesia merupakan salah satu negara terbaik untuk menikmati hidangan vegetarian. Indonesia menempati peringkat 16 dari 20 negara terbaik dari total 183 negara yang masuk dalam penilaian tersebut.  tentunya dengan peringkat seperti itu akan mendapat nilai plus untuk keberlangsungan produk pertanian organik.

   Dengan melihat ulasan di atas tentunya haruslah optimis bahwa produk pertanian organik Indonesia akan bisa berjaya dan bersaing dan tentunya bisa menjadi masa depan  yang cerah bagi pertanian Indonesia terutama bagi petan Indonesia. Tentu semua hal yang terkait harus bahu -membahu agar bisa terwujud apa yang disebut dengan kesuksesan dalam bidang pertanian produk organik. Harapan agar petani Indonesia bisa sejahtera dengan produk pertanian organiknya bukanlah mimpi semata.

Juli,2020   

Selasa, 07 Januari 2020

PERANG BESAR BISA TERJADI KARENA MISKALKULASI, PEMIMPIN YANG ERATIK DAN NASIONALISME YANG EKSTRIM


PERANG BESAR BISA TERJADI KARENA MISKALKULASI, PEMIMPIN YANG ERATIK DAN NASIONALISME YANG EKSTRIM

Bagi yang berharap tahun 2020 ini dunia kita menjadi lebih aman dan damai, harus bersiap untuk kecewa. Bahkan frustrasi. Tidak ada tanda-tanda untuk itu. Yang terjadi, di awal tahun baru ini kawasan Timur Tengah kembali membara.
Tahun 2019 yang baru kita tinggalkan ditandai dengan maraknya gerakan protes sosial. Kemarahan dan perlawanan rakyat terjadi di lebih dari 30 negara. Mereka melawan pemimpin dan pemerintahannya karena merasa tidak mendapatkan keadilan, ekonominya sulit dan ruang kebebasan untuk berekspresi dibatasi. Ragamnya berbeda-beda. Mulai dari sulitnya mendapatkan pekerjaan, harga-harga naik sementara daya beli rakyat turun, hingga pemerintahnya dinilai korup sementara beban utang negara meningkat tajam. Juga karena pemimpinnya dianggap ingin terus berkuasa dengan cara mengubah konstitusi dan undang-undang. Juga pemilihan umum yang baru saja dilaksanakan dianggap curang, sehingga rakyat tidak terima dan turun ke jalan. Yang lain, rakyat merasa ruang kebebasan untuk berekspresi ditutup disertai tindakan-tindakan yang represif dari pihak penguasa. Ada juga, terutama di negara-negara maju, rakyat marah karena pemerintahnya dianggap lalai dan tak serius dalam melawan perubahan iklim dan krisis lingkungan.
Sementara gejolak sosial global di tahun 2019 itu belum sepenuhnya usai, kini dunia menghadapai ancaman yang lebih serius. Geopolitik di kawasan Timur Tengah (Raya) kembali mendidih, yang sangat bisa merobek keamanan internasional yang sudah rapuh. Mengapa banyak pihak sungguh cemas dengan perkembangan terbaru di kawasan ini, karena banyaknya negara yang melibatkan diri dengan kepentingan yang berbeda-beda. Belum “non-state actors” yang selama ini turut meramaikan benturan politik, sosial dan keamanan yang ada. Meskipun seolah saat ini mata dunia tertuju kepada Iran, Irak dan Amerika Serikat, jangan diabaikan peran negara lain. Ada Rusia, Turki, Israel, Suriah, Saudi Arabia, Libya, Mesir, Qatar, Afghanistan dan Yaman serta sejumlah negara NATO. Tentu masih ada yang lain. Kalau situasi makin memburuk dan belasan negara itu melibatkan diri, apalagi pada posisi yang berhadap-hadapan memang keadaan sungguh menakutkan. Itulah sebabnya sebagian dari kita mulai bertanya, jangan-jangan perang dunia yang kita takutkan terjadi lagi. Akankah kesitu?
Saya pribadi termasuk orang yang tak mudah percaya bahwa krisis di Timur Tengah saat ini bakal menjurus ke sebuah perang besar. Apalagi perang dunia. Namun, saya punya hak untuk cemas dan sekaligus menyerukan kepada para pemimpin dunia agar tidak abstain, dan tidak melakukan pembiaran. Maksud saya, janganlah para “world leaders” itu "do nothing". Mereka, termasuk Perserikatan Bangsa-Bangsa, harus "do something". Terlalu berbahaya jika nasib dunia, utamanya nasib 600 ratus juta lebih saudara-saudara kita yang hidup dan tinggal di kawasan itu, hanya diserahkan kepada para politisi dan para jenderal Amerika Serikat, Iran dan Irak. Timur Tengah dan bahkan dunia akan bernasib buruk jika para politisi, diplomat dan jenderal di negara-negara itu melakukan kesalahan yang besar. Risikonya bisa memunculkan terjadinya tragedi kemanusiaan yang juga besar. Generasi masa kini memang tidak pernah merasakan harga yang harus dibayar oleh sebuah perang dunia, sebagaimana yang terjadi di awal dan medio abad 20 dulu. Sebenarnya, melalui buku-buku sejarah atau film-film, sebagian dari mereka mengetahui getirnya penderitaan manusia yang menjadi korban dari sebuah peperangan berskala besar.
Pasca tewasnya Jenderal Iran Qassem Soleimani oleh serangan udara Amerika Serikat beberapa hari lalu, siang dan malam saya mengikuti pemberitaan media internasional. Saya ikuti aksi-aksi (dan juga reaksi) politik, sosial dan militer di banyak negara yang punya kaitan dan kepentingan dengan Timur Tengah. Utamanya yang dilakukan oleh Irak, Iran dan Amerika Serikat. Bukan hanya pada tingkat pemimpin puncak, tetapi juga pada pihak eksekutif, legislatif, militer dan bahkan rakyatnya. Bukan hanya aksi-aksi nyata yang dilakukan di masing-masing negara, tetapi juga pada hebohnya sikap ancam-mengancam, perang mulut dan retorika besar yang digaungkan.
Pertanyaannya sekarang adalah apakah sebuah perang besar yang mengerikan bakal benar-benar terjadi? Jawabannya tentu tak mudah. Saya yakin tak ada yang berani memastikan perang itu pasti terjadi. Atau sebaliknya. Oleh karena itu, dalam kaitan ini, saya hanya ingin menyampaikan pendapat dan harapan saya. Pendapat saya mengait pada kapan atau dalam keadaan apa perang di kawasan itu benar-benar terjadi. Sedangkan harapan saya adalah apa yang harus dilakukan oleh Amerika Serikat, Iran dan Irak dan juga dunia pada umumnya, agar sebuah peperangan di kawasan yang rakyatnya sudah cukup menderita itu dapat dicegah dan dihindari. Saya orang biasa dan tak punya kekuasaan yang formal. Namun, sebagai warga dunia yang mencintai perdamaian dan keadilan, secara moral saya merasa punya kewajiban untuk "to say something".
Penyebab terjadinya perang antar negara, atau yang melibatkan banyak negara, berbeda-beda. Pemicu meletusnya sebuah peperangan juga macam-macam. Perang Dunia ke-1, yang menyebabkan korban jiwa 40 juta orang, disebabkan oleh terbunuhnya Pangeran Franz Ferdinand dari Austria-Hongaria di Sarajevo pada bulan Juni 1914. Peristiwa yang menyulut peperangan besar ini sering disebut sebagai "kecelakaan sejarah" (unexpected accident). Sementara, Perang Dunia ke-2 yang terjadi di mandala Pasifik dipicu oleh serangan “pendadakan” angkatan udara Jepang terhadap pangkalan militer Amerika Serikat di Pearl Harbour, 7 Desember 1941. Untuk diingat, keseluruhan korban perang dunia ke-2 di mandala Eropa dan mandala Pasifik berjumlah 70-85 juta jiwa. Para ahli sejarah mengatakan bahwa Jepang menyerang Amerika Serikat itu adalah sebuah kesalahan. Diibaratkan Jepang sebagai membangunkan macan tidur. Kesalahan itu sebuah "strategic miscalculation" yang dilakukan oleh para politisi dan jenderal-jenderal militer Jepang.
Kejadian miskalkulasi ini, atau salah hitung, kerap menjadi faktor yang mendorong terjadinya peperangan. Demikian juga kejadian di lapangan, yang tak terduga, seperti yang terjadi di Sarajevo tahun 1914 dulu.
Dari kacamata ini, sejarah tengah menunggu apakah politisi dan jenderal Amerika Serikat dan Iran melakukan miskalkulasi, sehingga akhirnya mendorong terjadinya perang terbuka di antara mereka. Di luar itu, apakah juga tiba-tiba terjadi peristiwa di lapangan, entah di Irak, di Iran, ataupun di tempat dimana aset dan satuan-satuan militer Amerika Serikat berada. Sebuah peristiwa yang bisa ditafsirkan sebagai aksi untuk melancarkan peperangan, meskipun para politisi dan petinggi militer tak merencanakan dan memerintahkannya. Kalau kedua hal ini tak terjadi dalam waktu mendatang, dunia bisa menghela nafas lega. Paling tidak untuk sementara.
Tetapi, harus diingat, di kawasan Timur Tengah terlalu banyak elemen yang tidak selalu berada dalam satu garis komando dengan pemimpin puncaknya. Dalam konteks permusuhan dan ketegangan Amerika Serikat dengan Iran saat ini, ada sejumlah elemen di luar Iran (dalam kapasitasnya sebagai negara). Misalnya Hesbollah di Libanon, Hamas di Palestina, dan elemen dalam negeri Irak yang sangat pro Iran. Belum organisasi radikal dan terorisme yang meskipun tidak ada kaitannya dengan Iran, tetapi anti Amerika. Jadi, segala kemungkinan yang menjadi pemicu meletusnya sebuah perang terbuka selalu ada.
Perang juga mudah terjadi di tangan pemimpin yang eratik (erratic)dan "gemar perang" (warlike). Saat ini sejarah juga sedang menguji apakah Presiden Trump, Ayatollah Khamenei dan Presiden Rouhani termasuk kategori pemimpin yang eratik dan suka perang atau tidak. Semoga mereka bukan tipe itu. Semoga pikiran jernih, kalkulasi yang matang dan kearifan hati menyertai para pemimpin tersebut. Semoga doa dan harapan saya ini, saya yakin juga banyak yang berdoa dan berharap demikian, dikabulkan oleh Allah Swt, Tuhan Yang Maha Kuasa. Saya tahu bahwa para pemimpin itu sangat mencintai bangsa dan negaranya. Saya tahu bahwa mereka juga patriot sejati bagi tanah airnya. Namun, patriotisme dan nasionalisme yang positif tidaklah boleh menghalang-halangi para pemimpin itu jika hendak menyelesaikan masalah sedamai mungkin. Paling tidak bukan memilih perang sebagai satu-satunya cara. Saya yakin "political and diplomatic resources" masih tersedia. Saya yakin masih ada jalan untuk mencegah terjadinya peperangan besar.
Saya tahu memang keadaan sangat tidak mudah bagi para pemimpin Iran dan Amerika Serikat. Ada persoalan harga diri dan juga keadilan (justice)yang harus ditegakkan. Akar permusuhan di antara mereka juga sangat dalam. Iran merasa sangat dipermalukan (humiliated) dengan tewasnya Jenderal Soleimani yang sangat dibanggakan dan dicintainya. Namun, jangan lupa pula Amerika Serikat juga pernah merasa terhina ketika 52 orang warga negaranya disandera selama 444 hari di Kedutaan Besar mereka di Teheran tahun 1979-1981 yang lalu.
Sekali lagi, situasinya memang tidak mudah saat ini. Kita saksikan di layar televisi, emosi dan kemarahan rakyat Iran tinggi sekali. Para pemimpin Iran “pastilah” berada di ombak dan arus besar yang menyeru dilakukannya pembalasan yang lebih keras terhadap Amerika Serikat. Namun, orang bijak menasehatkan kepada para pemimpin agar tidak mengambil keputusan yang gegabah tatkala hati dan pikiran mereka sedang diliputi oleh amarah yang memuncak. Maknanya… keputusan itu bisa salah. Hal begini tentu berlaku pula bagi para pemimpin Amerika Serikat. Di samping itu, politik selalu menyediakan pilihan. Dalam politik segalanya juga mungkin. Tidakkah Otto Von Bismarck pernah mengatakan bahwa politik adalah “the art of the possible”. Politik juga berangkat dari kehendak para pemimpinnya. “So, if there is a will, there is a way”.
Dewasa ini dunia berada dalam situasi yang jauh dari teduh. Banyak sikap dan pandangan yang serba ekstrim. Paling tidak lebih ekstrim dibandingkan dengan situasi sepuluh-dua puluh tahun yang lalu. Gelombang nasionalisme, populisme, rasisme dan radikalisme makin menguat (on the rise). Demikian juga otoritarianisme. Saya kira bukan hanya Donald Trump yang mengangkat simbol-simbol nasionalisme "America First". Saya amati banyak pemimpin dunia seperti itu. Barangkali itu pula sikap pemimpin Iran. Demikian pula Tiongkok, Rusia, Inggris, Korea Utara dan banyak lagi yang lain. Barangkali, semua negara juga begitu. Apa yang dikatakan oleh Ian Bremmer dalam bukunya G Zero World ~ Every Nation for Itself, bagai mendapatkan pembenaran sejarah.
Selama 10 tahun memimpin Indonesia dulu saya masih merasakan suasana dunia yang lebih baik. "Kehangatan dan kedekatan" di antara pemimpin dunia masih terasa. Misalnya, meskipun ada perbedaan kepentingan antara Amerika Serikat dengan Tiongkok dan Rusia, namun para pemimpinnya masih membuka ruang untuk berdialog dan berkolaborasi untuk kepentingan bersama. Demikan juga antara Tiongkok, Jepang dan Korea Selatan. Demikian juga antara Inggris, Perancis dan Jerman untuk urusan Eropa. Juga antara Tiongkok dengan negara-negara ASEAN menyangkut urusan Laut Tiongkok Selatan. Juga antara Saudi Arabia, Iran, Qatar, Mesir dan negara-negara Islam di Timur Tengah dalam urusan kerjasama dunia Islam. Termasuk tentunya kemesraan antara Amerika Serikat dengan kedua tetangganya, Kanada dan Meksiko.
Kesediaan untuk duduk bersama dan mencari solusi atas berbagai permasalahan global di antara negara-negara besar (global players and regional powers) amat dirasakan. Apakah itu berkaitan dengan kerjasama mengatasi krisis ekonomi dunia 2008-2009, mengelola perubahan iklim, memerangi kemiskinan global, melawan terorisme dan kejahatan transnasional, serta kerjasama-kerjasama yang lain.
Kedekatan antar pemimpin dunia juga tercermin dalam kebersamaan di berbagai forum. Misalnya PBB, G20, G8 (+), APEC, OKI, D8, ASEAN, EAS, GNB, ASEM (yang secara pribadi saya aktif berperan di dalamnya), serta forum-forum kerjasama multilateral dan regional yang lain. Apapun latar belakang ideologi dan sistem politik yang dianut, apapun tingkatan kemajuan ekonomi serta kepentingan nasionalnya, para pemimpin dunia masih relatif "rukun". Tentu saja minus perseteruan yang terjadi di antara negara-negara tertentu yang memang sudah berlangsung lama dan nyaris permanen. Misalnya, antara Iran dengan Israel, antara Amerika Serikat dengan Korea Utara, Iran dan juga Venezuela.
Dalam pengamatan saya, G20 tidak sekokoh dulu. G8 sudah mati suri. Di tubuh OKI nampak ada jarak dan ketegangan internal yang meningkat. Bahkan, ASEANpun tidak sekohesif dulu. Di internal Uni Eropa sering terjadi “pertengkaran” yang antara lain ditandai dengan keluarnya Inggris dari organisasi yang berusia tua itu. Mengapa ini terjadi? Tentu banyak teori dan alasan yang bisa diungkapkan. Namun, menguatnya kembali sentimen nasionalisme dan populisme turut menjadi penyebab. Berbagai organisasi kerjasama kawasan ikut melemah semangatnya untuk selalu berada dalam satu posisi, karena barangkali masing-masing negara harus mengutamakan kepentingan nasionalnya masing-masing.
Kembali pada topik tulisan ini, kalau ada yang sangat mencemaskan dan sungguh ingin tahu apakah ketegangan yang begitu memuncak di Timur Tengah ini bakal menyulut terjadinya perang terbuka di kawasan itu, tiga faktor yang saya kedepankan tersebut bisa dijadikan pisau analisis. Miskalkulasi, pemimpin yang eratik dan nasionalisme yang ekstrim. Silahkan ditelaah sendiri.
Namun, ada satu hal yang mungkin luput dari percaturan para pengamat geopolitik dan hubungan antar bangsa. Yang satu ini justru yang mungkin akan sangat menentukan "endgame" dari kemelut berintensitas tinggi di Timur Tengah ini. Saya tidak yakin, paling tidak saat ini, kalau baik Presiden Trump maupun Ayatollah Khamenei dan Presiden Rouhani benar-benar siap dan sungguh ingin berperang. Pasti para pemimpin itu sangat menyadari bahwa di belakangnya ada puluhan bahkan ratusan juta manusia yang dipimpinnya. Mereka juga tahu keputusan dan tindakan yang akan diambil akan berdampak pada situasi kawasan secara keseluruhan, bahkan dunia. Mereka juga tidak ingin punya "legacy" yang buruk dalam biografinya masing-masing jika keputusan dan pilihannya salah. Dengan ini semua, saya masih punya keyakinan bahwa pilihan yang diambil akan sangat rasional. Rasional dan "bermoral". Artinya, perang terbuka di antara kedua negara bukanlah pilihan utama. Jika bukan, apa yang akan terjadi?
Sangat mungkin ketegangan bahkan permusuhan yang sangat memuncak ini akan berakhir dengan sebuah “kesepakatan besar” (great deal). Sebuah kesepakatan strategis yang adil. (A strategic, fair deal). Tentu ada “take and give” diantara mereka. Elemennya bisa soal sanksi ekonomi, pengembangan nuklir Iran, komitmen untuk tidak saling menyerang aset dan objek militer masing-masing. Apa bentuknya? Biarlah para pemimpin kedua negara itu yang akan menentukan dan memilihnya. Dunia dan sejarah harus memberikan kesempatan kepada mereka. Semua pihak juga harus mendorong dan mempersuasi agar solusi indah itu terjadi, jangan sebaliknya merintangi dan memprovokasi untuk tidak terjadi.
Siapa tahu sejarah menyediakan peluang baru bagi hubungan antara Amerika Serikat dan Iran. Siapa tahu para pemimpin di kedua negara penting ini tergerak untuk berpikir “out of the box”, misalnya membangun paradigma dan cara pandang baru dalam hubungan bilateralnya di masa depan. Haruskah kedua bangsa itu menjadi musuh permanen di abad 21 yang banyak menjanjikan jalan bagi sebuah perubahan?
Apa yang bakal terjadi di hari-hari, atau di minggu-minggu mendatang, bisa menjadi “game changer”. Artinya, apa yang akan diputuskan dan dilakukan oleh para pemimpin Amerika Serikat dan Iran bisa mengubah jalannya sejarah di masa depan. Semoga yang akan datang adalah yang membawa harapan baik, bukan sebaliknya, sebuah malapetaka dan titik gelap dalam sejarah kemanusiaan.
Cikeas, 6 Januari 2020
Ditulis Oleh Yang terhormat Bapak SBY

Minggu, 29 Desember 2019

Korelasi antara SDM Unggul dan Indonesia Produktif di bidang kelautan dan perikanan dan peran serta Kadin Indonesia


Potensi kelautan Indonesia
Bebebrapa waktu kebelakang kita di ributkan oleh berita mengenai eksport bibit lobster. Berita tersebut banyak menuai polemik di masyarakat akibat perubahan kebijakan dari kementrian perikanan dan kelautan. Polemik tersebut berkaitan erat dengan sumber daya kita yang memang belum bisa membesarkan benih lobster. Namun saya tidak akan membahas panjang lebar terkait polemik tersebut.
Perlu kita ketahui banyak sumber daya kelautan Indonesia yang bisa di manfaatkan selain lobster tersebut ,  terdiri dari garam, ikan, tumbuhan laut, terumbu karang, fosfat, ombak, pasang surut laut, mutiara, plankton, minyak lepas pantai, dan sebagainya, sayang potensi tersebut rupanya belum di kelola secara maksimal. Apalagi  potensi kelautan Indonesia begitu luar biasa, dengan panjang garis pantainya yang mencapai 104 ribu kilometer, yang artinya bahwa Indonesia memiliti kontribusi besar bagi perikanan dunia serta produk kelautan dunia serta turunannya.
Menurut katadata.co.id ada potensi sumber daya dan jasa laut Indonesia mencapai 2,5 Triliun dolar pertahun. Bisa kita bayangkan dengan luas 1,9 juta kilometer persegi, Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia. United Nasions Development Programme ( UNDP menyebutkan bahwa perairan Indonesia merupakan habitat bagi 76 persen terumbu karang dan 37 persen ikan karang dunia., artinya Kelautan Indonesia bisa menjadi penopang ekonomi masyarakat.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat ada sekitar 7,87 juta jiwa atau 25,14 persen dari total penduduk miskin nasional menggantungkan hidupnya dari laut. Tersebar di 10.666 desa pesisir yang berada di 300 dari total 524 kabupaten dan kota se-Indonesia.  UNDP mencatat sebanyak 54 persen kebutuhan protein nasional dipenuhi dari ikan dan produk laut lainnya. Selain itu, hasil laut Indonesia menyumbang 10 persen kebutuhan perikanan global. Laut Indonesia juga berperan penting bagi berbagai kegiatan ekonomi seperti bisnis perikanan, pelayaran, maupun pariwisata.
       
Itulah sebabnya saya ambil tema mengenai pentingnya terkait korelasi antara SDM yang unggul untuk meningkatkan Indonesia yang produktif terutama di bidang kelautan dan perikanan yang rupanya memiliki sumber potensial besar untuk di manfaatkan sebaik baiknya. Bahkan banyak produk turunannya dari hasil laut yang bisa dimanfaatkan.
infografis dari katadata.id
 

Membangun sdm Unggul, Indonesia Produktif di bidang kelautan dan perikanan
Untuk menunjang Indonesia yang produktif terutama di bidang kelautan dan perikanan terutama memanfaatkan sumber kekayaan laut yang berlimpah tentunya haruslah di dukung dengan sumber daya yang unggul.
Fakta di lapangan . Potensi yang ada belum dikelola secara optimal. Salah satu permasalahannya adalah faktor Sumber Daya Manusia (SDM). Pengembangan SDM kelautan dan perikanan sangat penting, karena mengelola sumberdaya kelautan dan perikanan pada hakekatnya adalah mengelola SDM-nya. Mengutip data World Economic Forum 2014, indeks daya saing Indonesia pada 2014-2015 menduduki peringkat ke-34 dari 144 negara di dunia. Salah satu pilar dari 12 pilar yang dinilai adalah pendidikan tinggi dan pelatihan, karena itu, diperlukan peningkatan kapasitas SDM melalui pendidikan, pelatihan, dan penyuluhan. Hal ini diperkuat, bahwa pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015–2019, peran SDM kompeten menjadi target dan sasaran prioritasnya. Karena itu penyiapan SDM kompeten sangat penting dan dibutuhkan guna mensukseskan keberhasilan pembangunan kelautan dan perikanan.
Ada empat hal yang perlu mendapatkan perhatian untuk membangun kelautan dan perikanan ke depan, yaitu keberlanjutan sumberdaya alam yang ada di laut, khususnya sumberdaya ikan, dukungan SDM andal, infrastruktur, dan sistem kelembagaan. Dari keempat hal tersebut, keberadaan SDM unggul menjadi kunci utama keberhasilan pembangunan kelautan dan perikanan
Oleh sebabnya sanganlah penting dan mendesak meningkatkan sumber daya manusia yang unggul agar Indonesia bisa mengelola sumber daya laut yang sangat berlimpah. Bahkan seharusnya dengan potensi seperti itu Indonesia seharusnya mampu menjadi Negara maju dan menguasai pasar perikanan dunia.
Berikut yang bisa meningkatkan sumber daya manusia terlebih di bidang kelautan dan perikanan yakni melalui :

Pendidikan
Pendidikan ini sangatlah penting dalam menunjang peningkatan sumber daya manusia yang unggul dan berkualitas. Perlu adanya peningkatan didalam institusi pendidikan seperti sekolah menengah kejuruan dan perguruan tinggi. Dengan adanya peningkatan pendidikan maka akan meningkatkan kualitas sumber daya manusia terutama dalam bidang kelautan dan perikanan tentunya untuk menjawab berbagai tantangan dunia kelautan dan perikanan yang semakin berkembang dan berdaya saing.
Dalam hal ini peranan penting Pemerintah dalam membentuk institusi pendidikan yang berkualitas sehingga mencetak lulusan unggul agar bisa mengoptimalkan sumber daya alam laut dan perikanan Indonesia. Dengan membentuk jiwa yang inovatif dan kreatifitas sudah barang tentu lulusan lulusan tersebut akan sangat mudah membentuk suatu hilir ke hulu produk produk perikanan dan kelautan sehigga dapat mencapai Indonesia yang produktif. Artinya pendidikan ini adalah salah satu jalan untuk mencapai sumber daya manusia Indonesia yang unggul.
Balai Pelatihan
Balai pelatihan dan kursus setidaknya cara efektif dan cara lain dalam peningkatan sumber daya manusia. Balai pelatihan serta program program pelatihan yang sesuai dan terarah akan sangat berpengaruh, karena pelatihan pelatihyan tersebut merupakan bentuk aktif dari peningkatan sumber daya Manusia. Dengan keseimbangan antara teori dan praktik lapangan tentunya sangat membantu masyarakat meningkatkan pengetahuannya sehingga akan membentuk mereka menjadi produktif dan kreatif. 
diagram korelasi sumberdaya manusia, Indonesia prouktif


Peran kadin dalam peningkatan SDM unggul dan produktivitas kelautan dan perikanan Indonesia yang berkualitas
FAO memprediksi pasar seafood dunia pada 2024 mencapai 240 juta ton, 160 juta ton di antaranya adalah dari perikanan budidaya. Sementara KKP menargetkan produksi perikanan naik hingga 20 persen per tahun. Adapun pada 2017, produksi perikanan tangkap mencapai 6,8 juta ton. Sedangkan produksi perikanan budidaya sebesar 16,1 juta ton dengan rincian 5,65 juta ton ikan dan 10,45 juta ton rumput laut.
Melihat kondisi diatas tentunya kadin sebagai intitusi pemerintah harus memiliki strategi agar produk produk kelautan dan perikanan Indonesia bisa menembus pasar dunia dan menjadi pemain utama dunia. Investasi dalam bidang sumberdaya manusia sangatlah penting disamping teknologi dan infrastruktur.
Untuk mencapai Indonesia yang produktif selain pengutanan SDM yang unggul kadin juga berupaya meningkatkan produktifitas industry kelautan dan perikanan dalam RPJMN 2020-2024. Dimana RPJMN ini akan memberikan acuan untuk para peminpin dan pengambil kebijakan Indonesia dalam bidang ekonomi, sosial dan politik yang berkaitan dengan produk kelautan dan perikanan.
Jadi sangat jelas sekali korelasi antara penongkatan sumberdaya manusia terhadap produktifitas Indonesia itu sangat erta kaitannya dan bersinergi. Baik pemerintah dan lembaga lainnya bisa memecahkan permasalahan ini dengan sangat bijak, terarah dan sesuai target sehingga kesejahteraan akan bisa dicapai.

Sumber
Katadata.com
https://bisnis.tempo.co/read/1146202/kadin-kuatkan-industri-kelautan-dan-perikanan-dl-rpjmn-2020-2024